Siapa yang bisa memerintah masyarakat untuk membaca, menonton, mendengarkan, dan tertarik pada sesuatu? Presiden? Parlemen? Kantor pendidikan, kantor kelurahan? Bukan. “Yang membetot orang masuk ke dalam isi buku, ialah narasi,” begitu tulis Dr. Septiawan Santana K., M.Si. dalam kata pengantarnya pada buku ini. “Yang bikin pemirsa terpaku dan terpukau oleh siaran televisi, ialah narasi. Yang membuat pendengar mematung menyimak acara radio, ialah narasi. Yang bikin orang memelototi isi sebuah situs, ialah narasi.”

Buku karya Alex Sobur, seperti dituturkan Dr. Turnomo Rahardjo dalam endorsement-nya, ini menarik, karena menyajikan sesuatu yang ‘baru’ dalam studi komunikasi: ‘komunikasi naratif.’ Menurutnya, secara konseptual, gagasan tentang komunikasi naratif merupakan wilayah kajian dalam tradisi retorika yang menjelaskan komunikasi sebagai pidato atau ujaran publik yang indah. Menurut Walter Fisher dalam pemikiran teoretiknya tentang Paradigma Naratif (Narrative Paradigm), orang pada dasarnya adalah storytelling animals. Ini merupakan penegasan Fisher tentang pertanyaan filosofis: Apa esensi dari sifat manusia?

Belakangan ini, seperti coba dijelaskan Alex Sobur—penulis buku ini—studi ihwal narasi mulai dipandang sebagai hal yang menarik di kalangan selain kritikus sastra atau cerita-cerita rakyat (misalnya Propp, 1968; Brooks, 1985; Smith, 2006); begitu pula, narasi dipandang semakin penting artinya dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi. Maka itu, ia mengajak, dari sekarang kita harus mulai membuka pintu yang lebih lebar bagi pendekatan-pendekatan alternatif, membuka perspektif baru, agar studi komunikasi, utamanya yang menggunakan paradigma kualitatif-interpretif, lebih kian beragam, kian bervariasi, dan menimbang kembali pendekatan-pendekatan yang selama ini kita rasakan sudah jenuh.

Manusia, tulis Sobur, adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Kita menerima cerita dan menyampaikan cerita. Tanpa cerita, hidup kita carut-marut. Dengan cerita, kita menyusun dan menghimpun pernik-pernik hidup kita yang berserakan. Maka itu, apa pun yang membantu kita memberikan makna—pendapat, aliran pemikiran, mazhab, agama—selalu didasarkan pada cerita-cerita besar, grand narratives. Begitu besarnya pengaruh naratif pada pikiran, perasaan, dan perilaku kita, sehingga kita tidak segan-segan untuk “berperang” melawan siapa pun yang menyampaikan cerita yang tidak kita terima.

Kesukaan akan cerita atau kisah pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keadaan manusia. Orang di seluruh dunia tidak bisa tidak berpikir bahwa kehidupan mereka sendiri sesungguhnya adalah kisah dan terus menceritakannya. Maka tak heran kalau kemudian lewat Image-Music-Text, Barthes menuliskan kata-kata dramatisnya, “Narasi hadir pada setiap zaman, di setiap tempat, di dalam semua masyarakat.”

Menarik apa yang pernah dikemukakan penulis Inggris, A.S. Byatt, yang baru-baru ini menerbitkan sebuah esai mengenai narasi. Ia menyatakan, narasi (narrative) ada di dalam jantung manusia. Menurutnya, narasi “adalah bagian dari pembawaan manusia, seperti halnya nafas dan aliran darah.”  Narasi meliputi kehidupan sehari-hari kita. Kita terlahir ke dalam dunia naratif, menjalani kehidupan kita melalui narasi, dan setelah itu kita pun dikisahkan orang lewat narasi.

Komunikasi Naratif ini sesungguhnya berkenaan dengan manusia yang berupaya memaknai dunianya yang selalu berubah. Lewat narasi, kita dapat menghasilkan apa yang berlaku sebagai tatanan terhadap apa yang kelihatannya kacau dalam dunia kita, dan melalui narasi kita bisa mendefinisikan diri bahwa kita memiliki pemahaman atas kelangsungan sementara ini dan sebagai makhluk yang berbeda dari makhluk lainnya.

Lantas, di mana sebetulnya posisi “Komunikasi Naratif” dalam kajian komunikasi?

Kita ikuti saja perbincangannya pada “Launching dan Bedah Buku” bersama Alex Sobur, M.Si. (penulis), Dr. Artini M.Si (Pakar Jurnalisme Sastra) di Research Centre LSPR, Jumat, 20 Juni 2014, pukul 14.00-16.00 WIB.